Rabu, 11 Februari 2009

Peruntungan PKS Pada Pemilu 2009

Sejak Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan 34 parpol yang lolos seleksi faktual dan berhak mengikuti Pemilu 2009, wajah perpolitikan nasional kembali bersemangat.

Ada semangat demokrasi yang terpancar, ada cita-cita besar yang ingin diraih masing-masing parpol, tapi dibalik itu semua, juga ada pesimisme yang tercermin dari jumlah golput yang berdasarkan hasil-hasil survai lumayan besar, yakni mencapai 40%. Mereka yang memilih golput motivasinya pun bervariasi, dari yang masa bodoh, kecewa, sampai yang sadar dan faham benar bahwa harus bersikap golput.

Ke-34 parpol kontestan Pemilu 2009 tentu akan menjual kecap guna mendulang suara pemilih, ada yang jualannya mirip, tapi tak jarang ada yang kontradiktif. Sudah bisa diduga, ke-34 parpol nanti ada yang menjual isu nasionalisme, pluralisme, agama, krisis ekonomi, penyelamatan bangsa, penanggulangan krisis BBM dan mafia perminyakan, solusi utang dalam dan luar negeri, hingga isu-isu rasial. Yang jelas, mereka akan memberi cap jualannya sebagai 'kecap nomor satu'.

Disisi lain, publik peserta Pemilu 2009 pun memiliki persepsi tersendiri terhadap parpol-parpol yang mirip permen nano-nano. Diantara mereka tentu ada yang firm dan sudah tahu harus memilih yang mana, tapi lebih banyak lagi publik yang bingung karena dari banyaknya parpol ternyata tokohnya yang itu-itu juga. Ada yang 'berganti baju', ada yang pindah parpol, dan ada pula yang asyik ma'syuk tampil flamboyan sebagai calon independen

Lima besar
Di tengah ingar-bingar dan euforia 34 parpol peserta pemilu, awal Juli lalu lembaga survai Indo Barometer pimpinan M. Qodari merilis data yang mengejutkan. Dibandingkan Pemilu 2004, Pemilu 2009 ada banyak perubahan.

Reputasi Partai Golkar yang menduduki peringkat pertama di Pemilu 2004 diambil alih oleh PDIP, lalu disusul Golkar, Partai Demokrat, PKS, PKB. Sementara PPP, PAN, PDS, PBR dan PBB, terpental di lapisan lima besar kedua.

Bandingkan dengan survai yang dilakukan Center for Strategic and International Studies (CSIS). Jika pemilihan umum digelar pada 2008 ini, dalam survei CSIS terekam para pemilih akan menjatuhkan pilihan pada PDI-P (20,3%), lalu Golkar (18,1%), PKS (11,8%), PKB (6,8%), Partai Demokrat (5,2%), Partai Persatuan Pembangunan (2,7%), PAN (1,7%).

Akhir tahun lalu Lembaga Survai Indonesia (LSI) bertajuk Pandangan Kinerja Parpol menunjukkan, PKS menduduki ranking kedua teratas (15,3%) dalam kesungguhan memberantas korupsi, setelah PD (31%), kemudian diikuti oleh Golkar (12,2%), PDIP (9,2%) dan PKB (8,3%).

Tapi PKS justru masuk ranking teratas (21,2%) dalam survei paling sedikit orang-orangnya terlibat dalam korupsi, kemudian diikuti PD (17,8%), Golkar (11,8%), PDIP (10,8%), dan PKB (8,2%).

Sedangkan dalam survei paling surngguh-sungguh memperjuangkan keinginan rakyat PKS hanya menduduki ranking keempat (13,5%), setelah PD (20,9%), PDIP (19,8%), Golkar (18,6%), kemudian diikuti PKB (4,7%).

Demikian pula dalam survei paling konsisten menepati janji selama kampanye PKS hanya menduduki ranking keempat (13,1%), setelah PD (19,7%), PDIP dan Golkar (masing-masing 17,9%), dan PKB (3,9%).

Jika diperhatikan, ketiga hasil survai itu menunjukkan, pertama, posisi semua parpol menunjukkan adanya penurunan kecuali PKS. Kedua, posisi PDIP kendati ikut turun namun penurunannya tidak sesignifikan parpol lain, sehingga menduduki posisi pertama. Ketiga, pasang naik dan turun menunjukkan kinerja masing-masing parpol dihadapan rakyat.

Prospek PKS
Lain di survai lain pula di lapangan. Jika menengok perolehan suara PKS pada Pemilu 1999 yang hanya 1,4% lantas melonjak menjadi 7,3% pada Pemilu 2004, menunjukkan satu peningkatan yang signifikan baik dalam jumlah dukungan maupun perolehan kursi.

Karena itu, tidak terlalu berlebihan jika pada Pemilu 2009 PKS menargetkan perolehan suara 20%, atau hanya membutuhkan kelipatan tiga dari raihan suara 2004.

Survai internal kader-kader PKS bulan Juni justru menunjukkan perkembangan yang sama sekali berbeda dengan hasil survai Indo Barometer, CSIS maupun LSI. Survai itu menunjukkan bahwa jika Pemilu dilakukan saat ini dukungan terhadap PKS sudah mencapai 14%, atau terpaut 6% dari target. Namun karena Pemilu 2009 masih 9 bulan lagi, maka target untuk mencapai dukungan suara 20% tidaklah terlalu over-optimistik.

Karena yang nyoblos itu-itu saja, sementara partainya bertambah menjadi 34 parpol, maka tak bisa dihindari adanya predator suara. PKS dalam survai itu paling tidak akan menjadi predator bagi PPP, Golkar dan PAN. Ada 4% massa PPP yang pindah ke PKS, 2% massa PAN beralih ke PKS, dan 1% massa Golkar yang pindah ke PKS.

Tanda-tanda zaman ke arah itu terlihat jelas. Pada pilkada DKI Jakarta, satu PKS dikeroyoki 20 partai besar dan kecil, tapi PKS mampu mendulang suara 42,6%. Suatu tambahan angka yang signifikan karena pada pemilu 2004 suara PKS di Jakarta hanya 23%. Begitu juga di Banten 37% dari sebelumnya 12%. Di DPR PKS yang tadinya cuma memiliki 7 kursi, pada 2004 naik menjadi 45 kursi. Itu suatu kenaikan hampir tujuh kali lipat.

Belum lagi jika menengok kemenangan demi kemenangan pilkada di sejumlah wilayah strategis, tokoh yang didukung PKS seperti tak terbendung. Di Jawa Barat Ahmad Heriawan-Dede Yusuf, di Sumatera Utara Syamsul Arifin-Gatot Pujo Nugroho, di Maluku Utara Thaib Armain-Abdul Gani Kasuba, di Nusa Tenggara Barat Tuan Guru Bajang-Badrul Munir. Dari kemenangan demi kemenangan terlihat jelas bahwa faktor mesin PKS tak bisa dibantah sebagai penentu kemenangan, selain faktor tokoh yang dicalonkan.

Praktis, dari 150-an pilkada dan pilgub yang diikuti, PKS memenangkan pilkada dan pilgub itu sedikitnya di 90 wilayah, baik tampil sendiri maupun berkoalisi. Ini menunjukkan betapa efektifnya kerja mesin politik PKS.

Tanda-tanda zaman lainnya adalah, hingga saat ini belum ada kader-kader PKS yang terlibat skandal kriminal maupun skandal perempuan, seperti telah terjadi di parpol-parpol besar. Karena itu PKS sangat siap menjadi predator bagi parpol-parpol besar.

Saksikan skandal korupsi yang melanda kader Golkar (Hamka Yandhu, Antoni Zeidra Abidin), PPP (Al Amin Nur Nasution), Demokrat (Sarjan Taher), PKB (Yusuf Emir Faisal), PBR (Bulyan Royan) atau skandal seks Max Moein (PDIP). KPK sendiri masih mengejar kemungkinan Ali Masykur Musa (PKB), Paskah Suzetta (Golkar), MS Kaban (PBB) dan Sukowaluyo Mintoharjo (saat masih di PDIP), terlibat dalam skandal aliran dana BI ke DPR.

Praktis PKS relatif paling bersih. Mengapa dikatakan relatif? Boleh jadi dikemudian hari ada kader PKS yang memang benar-benar terlibat menerima dana suap dan harus ditangkap. Sejauh ini, dari sejumlah kader PKS di DPR mengaku menerima juga aliran 'dana panas' itu, tapi dana itu segera dikembalikan ke KPK sebagai tanda bahwa dana itu bukanlah dana yang halal untuk dinikmati.

Tapi sekadar untuk diketahui, secara nasional juga telah memecat kurang lebih 10 kadernya di DPRD yang ketahuan berusaha memeras birokrat setempat. Pemecatan itu tak ampun lagi, harus dilakukan mengingat bila dibiarkan akan menjadi kanker korupsi yang akut. Itu sebabnya pemangkasan kader busuk sejak dini akan menjaga kredibilitas PKS baik di hadapan rakyat maupun di hadapan Tuhan.

Kalau memang demikian halnya, layakkah PKS mendulang dukungan suara 20% pada Pemilu 2009? Kalau memang itu terjadi, maka PKS akan head to head dengan PDIP.

Kemanakah kecenderungan suara pemilih akan diarahkan, tentu akan berdampak pada perolehan suara masing-masing parpol.

Sumber: http://forum.detik.com